MENGGAPAI HIDUP YANG HAKIKI
“Dunia itu bagaikan seorang pengembara yang berteduh sebentar dibawah sebatang pohon kemudian beristirahat lalu pergi meninggalkannya”
Parumpamaan sebagai tampat teduh yang sementara menyiratkan gambaran bahwa dunia bukanlah kehidupan yang kekal atau hakiki. Ada kehidupan yang lebih abadi ketimbang sekadar tempat berteduh atau beristirahat semata, yaitu kehidupan aherat. Oleh karenanya, agar tidak terpedaya dan terpesona oleh hingar bingarnya kehidupan dunia yang sementara maka manusia mesti berpikir jauh kedepan untuk menggapai kehidupan yan lebih abadih. Menikmati kebahagian tidak ada larangan, namun jangan sampai mereka meninabobokan manusia hinga terpedaya dan lupa pada sebuah kehidupan yang hakiki, yang nantinya akan dialami setelah kematian.
Dalam islam, sala satu srategi yang bisa meyadarkan umatnya agar tidak berlebihan dalam memandang dunia adalah sikap zuhud(sederhana). Zuhud yang di maksutkan bukan lah sebuah refleksi sikap yang anti dunia atau bahkan menjauh dari dunia itu sendiri sehingga orang mau mencapai derat zuhud, terkesan sebagai orang yang hidup miskin. Menolak memiliki harta serta tidak menyukai kenikmatan duniawi sebagai mana pemahaman sebagian orang yang salah kaprah.
Memang secara etimolagi, zuhud adalah menjauhkan diri dari sesuatu karna menganggap hina dan tidak bernilai. Namun bukan berarti lantas sama sekali meninggalkan urusan duniawi, menerima kondisi diri nya apa adanya, membiarkan dirinya hidup dalam kemelaratan tampa berusaha untuk memperoleh rezeki yang halal. Dengan alasan ingin lebih dekat kepada Allah.
Rasanya pemahaman seperti ini terlalu sempit. Zuhud bukan sikap malas, bukan pula identik dengan kemiskinan, keterblakangan dan yang berujung pada suatu keyakianan bahwa dunia adalah musuh manusia, menghalangi manusia dari tuhannya hingga harus di tingalkan demi mencapai kepuasan batin serta bisa mendekatkan diri pada_nya, melaikan zuhud bagi para sufi-adalah meningalkan sesuatu yang lebih dari kebutuhanhidup walaupun sudah jelas kehalalannya. Dengan kata lain, zuhud adalah sikap orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak memalingkan dirinya dari obadah kepada allah. Ia tidak diperbudak dunia dengan segalah kenikmatannya, dan mampu menahan diri untuk tetap berada dijalan yang di rirdhai allah
Rasulullah saw dalam hadisnya,
”Berlaku zuhudlah kamu terhadap kenikmatan dunia niscaya kamu akan di cintai allah, dan berlaku zuhudlah kamu di tengah manusia niscaya kamu akan dicinta oleh mereka”
Hal ini diperkuat oleh pendapat Imam Ghazali di dalam ihya ulumuddin bahwa hakekat zuhud bukanlah meningalkan harta benda dan mengorbankannya pada jalur sosial untuk menarik perhatian manusia. Namun orang yang zuhud adalah orang yang mempunyai harta benda akan tetapi dia menyikapinya dengan lapang dadah walaupun mampuh untuk menikmati hartanyaitu tampa suatu kekurangan apapun, melainkan lebih memeli bersikap waspada, hatinya tidak terlalu terikat denga harta, karena hawatir sikap keterikatannya itu akan membawahnya cinta kepada selain allah swt.
Bersikap wajar pada dunia
Memang tak bisa disangkal bahwa dunia dengan segala kenikmatannya yang ada di dalamnya cukup mengoda. Kenikmatan dan kesenangan ini sering kali menjebak banyak orang hingah melahirkan pola pikir materialistis dan hedohis, yakni mengagungkan kenikmatan dunia adalah segalanya. Alam yang mempesona, kekayaan yang melimpah, serta kesenangan dan kenikmatan yang ada mesti direguk dan dihabiskan.
Tak salah jika al-ghazali mensinyalir bahwa mereka telah terbelenguh oleh berbagai kecendrungan materialisme serta nihilisme modern, dimana tujuan terakhir bagi kehidupan manusia adalah hedon(kesenangan). Pandangan manisia tentang hedonisme inilah yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia yang jauh dari nilai dan moral agama.
Persepsi terhadap keduniawian seperti ini, perlu di luruskan. Menurut Abu Ridha dalam bukunya berhenti sejenak recik-recik spiritualisme islam, jika orang tidak dapat menilai secara benar, meka dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan diri., sehingah menguatkan hasrat-hasrat duniawi dan dan menenggelamkan aspek-aspek ruhani.
Nah ketika asrat duniawi tersebut mendominasi kesadaran dan menenggelamkan aspek spiritualitas, maka seseorang akan terdorong menjadi serakah, tidak mau bertrimah kasih, sombong, tidak sabar, dan sangat mencintai nafsu duniawi yang materialisme dan individualisme.
Fi’aun dab Karun, misalnya, keduanya tidak menyadari kalau kekayaan dan kekuasaan yang diperolehnya berkat anuhgra allah, tetapi justru dengan sombongnya menyatakan bahwa semua yang dimiliki berasal dari usaha kerasnya sendiri.
Bahkan demi kecintaannya terhadap kekayaannya mereka mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan dan nasib karun akhirnya terkubur oleh hartanya sendiri.
Lantas bagai mana mesti menyikapi agar tidak terjebak kedalam kecintaan yang berlebihan pada dunia..banyak ayat alQuran dan hadis nabi yang mengigatkan bahayanya dunia dalam kehidupan manusia jika tidak disikapi dengan sebuah pandanganbahwa dunia seisinya ini adalah sekadar sarana belaka untuk mencari bekal kehidupan abadi kelak di akherat.
”addunya mazra’atul akhirah” (dunia adalah ladangnya akherat)demikian pepata arab tertutur.
Kehati-hatian terhadap dunia tidak berarti mengabaikan sama sekali urusan(tanggung jawab) dunia. Bahkan konsep zuhud dengan pengertian harus terputus dari segalah hal keduniawian semata, jelas bertentangan dengan konsep al-Qur’an itu sendiri walaupun ada beberapa ayat lain yang menjelaskan bahaya dunia takkala tidak disikapi dengan perasaan sekedar sebagai ajang mediator untuk mencari bekal pada kehidupan abadi di akherat nanti.
Sebab Rosul bersadah....
”zuhud terhadap dunia itu bukanlah mengharamkan apa-apa yang halal dan menghilangkan harta, tetapi zuhud adalah menjadikan apa-apa yang ada disisi allah lebih kamu pegang daripada apa-apa yang ada di tangannya dan menjadikan pahala musibah yang menimpah mu lebih kamu sukai didalamnya jika musibah itu tetap bagimi”(HR.Tarmizi)
Dalam konstek ini, agama justru memotipasi umatnya untuk mencari rezeki yang hal sebanyak-banyaknya. Dengan harta yang banyak menjadi media penting untuk beramal,mengukuhkan solidaritas sosial, bersedekah dan sebagainya, yang muaranya bisa saling mendekatkan kepada allah.
Karena itu al-ghazali mengingatkan bahwa kesempurnaan batiniah seseorang muslim tidak mungkin dapat dicapai tampa melalui kesempurnaan lahiriah. Lanjutnya konsep esoterik (batinia)dan aspek aksoterik(lahiriah) mesti berjalan secarah beriringan. Secara gamblang allah swt juga berfirman,
”dan carilah pada apa yang telah di anugrahkanAllah kepadamu(kebahagiaan) negri akherat,dan jangan lah kamu melupakan bagiaanmu dari (kenikmatan)duniawi dan berbuat baiklah(kepada orang lain) sebagai mana allah telah berbuat baik kepadamu ,dan jangan lah kamu berbuat kerusakandi(muka) bumi, sesunguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berbuat kerusakan”(QS al-Qashash,29:77)
Ayat diatas mengisyaratkan pentingnya mencari kebahagiaan duniawi pula, asalkan tidak berlebihan menilainya. Artinya, bersikap wajar dan selalu sadar bahwa kenikmatan itu tidak datang begitu saja tampa intervensi allah, yang kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan akherat.
Sebaiknya jangan sampai kecintaan terhadap dunia mengalahkan seegalahnya sampai membutakan kecintaan terhadap allah sang pemberi kenikmatan itu.
Membentengi kepribadiaan yang tak terkendali
Kesederhanan(zuhud) merupakan benteng utama yang dapat membendung arus kepribadian yang tidak terkendali dan individualisme yang berlebihan, kepribadiaan seperti itu tidak hanya dapat menggangu keseimbangan dirinya, tetapi jga masyarakat dan lingkungan.
At-Thusi makalah yang berjudul Akhlaq hashiri, menilai bahwa kesederhanaan merupakan satu titik pertengahan antara dua kondisi psikis yang exstrim yaitu ketamakan dan kekikiran.
Sikap zuhud dapat membendung serbuan gelombang hasrat-hasrat duniawi itu akan epektip bagi kehidupan apabilah ia telah menjadi sikap masyarakat, bukan sikap perorangan semata, sebab jika di tempatkan dalam konstek masyarakat akan menimbulkan rasa ikhlas, pengorbanan, serta solidaritas sosialyang tinggi pada diri setiap orang.
Sebagai mana disebutkan dalam al-Qashash 80 Allah swt, menisbatkan zuhud itu pada ulama’ yaitu suatu penghormatan bagi sipat ini” dan berkatalah orang-orang yang di anugrahkan ilmu:”kecelakaan yang bersalah bagimu, pahal Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.”
Sikap zuhud inilah yang juga diperlihatkan Nabi Sulaieman dan ustman bin affan betapapun banyaknya kekayaan yang dimiliki, idak menyebabkan mereka ngandrung kepadanya hinggah melalaikan diri dalam mengabdikan kepada tuhannya sebaik-baiknya mereka tetap menggabdika kepada tuhannya sama sekali tidak berpengaruh oleh kekayaan yang melimpah. Yang dimilikinya tidak menyebabkan lupa pada tujuaan kebradaan dan misi utamanya. Mereka tidak tengelam dan terbius oleh fatamorgana dunia dan tidak terpesonah oleh berbagai atribut duniawi
Kesimpulannya inti zuhud terletak pada tidak terpengaruh atau tidak tergantungnya hati seseorang kepada hal-hal yang berkaitan dengan kenikmatan dan atribut duniawi, setiap muslim hendaknya mampu menanamkan zuhud dalam hidupnya agar mampu menyikapi kenikmatan dunia searif mingkin dan mampu menjali hubungan yang harmonis dengan sesama manusia..
ALLAHU AKBAR
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar